Ketua DPP Partai Hanura
Banyak kritik yang mengalir kepada Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla setelah setahun memimpin Indonesia. Ada nada pesimis, ada juga yang melontarkan macam-macam prasangka minor. Harus diakui, jika dilihat dari berbagai indikator, kinerja Pemerintahan Jokowi belum bisa memenuhi ekspektasi publik yang demikian besar. 
Namun, semua pihak perlu tahu, saat Jokowi resmi dilantik memimpin Indonesia setahun lalu, daya saing Indonesia cukup lemah. Pengelolaan sumber daya negara sudah karut-marut, kapasitas fiskal nasional dalam posisi lemah dan isu korupsi sedemikian kuat merebak dari pusat hingga daerah. 
Karena itu, untuk memperbaiki Indonesia, jelas memerlukan kerja keras. Tak aneh, jika Jokowi selalu mengajak masyarakat untuk kerja, kerja dan kerja sebagai jargonnya.
Gaya kepemimpinan Jokowi memang lain, tidak formalis dan protokoler, namun lebih menekankan banyaknya komunikasi langsung dengan masyarakat. Visi-misi yang dirumuskan dalam Trisakti dan Nawacita memang memberikan harapan besar bagi masa depan Indonesia, utamanya bagi kemandirian bangsa. Hanya saja, Jokowi harus menghadapi banyak tantangan ketika hendak mengimplementasikan program kerjanya.
Untuk memperbaiki Indonesia, Jokowi jelas perlu waktu untuk membenahi warisan pemerintahan lama. Harapan Jokowi ingin bisa bekerja dengan cepat sesuai visi-misinya. Tapi faktanya, banyak menteri-menterinya yang gagal menerjemahkan visi Nawacita dalam konsep dan program kerja di kementeriannya. Hal itu diperburuk adanya tarik-menarik kepentingan di kalangan elite politik. Sehingga wajar saja, jika dalam setahun ini banyak terjadi kegaduhan politik.   
Pandangan minus terhadap Pemerintahan Jokowi selama ini juga tak lepas dari perilaku buruk para pembantu Jokowi sendiri. Ironinya, para pembantu Jokowi ada menteri yang autis dan narsis. Dikatakan autis karena di antara menteri ada yang asyik dengan cara berpikir sendiri dan gagal menerjemahkan Nawacita yang sudah digariskan Jokowi. 
Sementara ada juga menteri yang narsis lantaran cenderung lebih suka tampil di media massa ketimbang menyelesaikan substansi permasalahan di bidang kerjanya. Hasilnya, aksi-aksi mediatik para menteri hanya mampu memenuhi kuantitas penampakan, tapi gagal menyelesaikan persoalan yang substantif.
Kegaduhan politik yang terjadi dalam pemerintahannya selama setahun ini, setidaknya sudah memberikan referensi yang cukup kepada Jokowi untuk melakukan evaluasi total pada mesin kerja dalam kabinetnya. Momentum satu tahun ini tentunya menjadi waktu yang tepat untuk melakukan pembenahan dengan menggunakan parameter yang cerdas dan cermat. Dan jangan lagi menggunakan aksi-aksi mediatik sebagai paramater dalam menilai kinerja menterinya.
Kalau reshuffle menjadi pilihan, hal itu bisa dilakukan tanpa mempermalukan balik pada personal, partai atau para relawan pendukungnya. Jika ada menteri dari parpol tapi kinerjanya buruk dan perlu diganti, hal itu bisa dilakukan dengan alasan obyektif dan rasional. Kalau reshuffle harus ditempuh, saya yakin para pemimpin partai juga bisa menerima legowo bila komunikasi politik Jokowi berjalan dengan baik tanpa melupakan prinsip orang Jawa, “Mikul Dhuwur Mendem Jero."
Semoga saja, Presiden Jokowi bisa segera menemukan formulasi yang tepat dan dapat melakukan pembenahan total agar pemerintahannya dapat mewujudkan visi-misi yang dikampanyekan menjelang Pilpres 2014 lalu.

Posting Komentar