Red. tegarnews.com |
JAKARTA, TEGARNEWS.com - Atas keberadaan PT. Dairi Prima Mineral (DPM) pada Hutan Lindung di Dairi. Kerusakan hutan yang telah berlangsung tentunya bukanlah kesalahan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tapi upaya pelestarianlah yang menjadi tanggung jawab pemerintahan sekarang. Salah satu pelestarian hutan adalah dengan menindaklanjuti laporan masyarakat atas perusakan hutan.
Apabila laporan masyarakat ini tidak ditindaklanjuti maka pemerintah saat ini bisa dianggap turut serta bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan dan semakin memperburuk keadaan di masa mendatang
Beberapa waktu lalu, perwakilan dari 15 Desa di kecamatan Silima Pungga Pungga, Silempat Menpu Hilir, Kabupaten Dairi dan kecamatan Sitelu Tali Urang Jeha, Kabupaten Pakpak Barat mendatangi kantor Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI) sabtu (19/9).
Perwakilan tersebut adalah Ati Monika Sinaga, Marlina Sitorus, Tamar Simbolon dan Mesti Situmorang. Maksud kedatangan mereka untuk menyampaikan penderitaan masyarakat di kedua desa tersebut akibat penyerobotan lahan hutan, dan kegiatan pertambangan. Selama ini sudah dilakukan upaya pelaporan ke instansi terkait namun tidak membuahkan hasil. Mereka seperti di pingpong antara pemerintah pusat dan daerah. Berikut kronologis yang disampaikan terkait upaya mereka.
1.Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG),Sumatera Utara memiliki tiga patahan bumi yakni Patahan Renun, Patahan Toru dan Patahan Angkola. Ketiga segmen patahan ini merupakan sumber dan jalur perambatan gempa bumi di darat. Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat berada di atas Patahan Renun yang memiliki resiko bencana gempa bumi yang cukup tinggi. Sebagai contoh, saat gempa bumi di Aceh pada bulan September 2011, kabupaten Dairi tercatat sebagai daerah terparah di luar Aceh yang mengalami dampak gempa tektonik 6.7 SR yang mengakibatkan kerusakan bangunan sebanyak 735 unit di empat kecamatan. Dengan kondisi demografi seperti ini, maka penambangan di atas patahan bumi dengan metode penambangan bawah tanah tentunya sangat riskan dan beresiko tinggi.
2.Kawasan Hutan Lindung Register 66 yang menjadi bagian area konsesi pertambangan PT. DPM, merupakan kawasan pegunungan yang menjadi satu-satunya sumber mata air bagi kehidupan masyarakat di 15 desa yakni: Sopokomil, Bongkaras, Tuntung Batu, Bonian, Parongil, Sirata, Siboras, Uruk Belin, Bakal Gajah, Bakal Batu, Sumbari, Lae Panginuman, Lae Pangaroan, Lae Ambat, dan desa Lae Rambong. Eksploitasi yang akan dilakukan pada hutan kawasan pegunungan tersebut dan limbah proses produksi penambangan PT. DPM dapat dipastikan akan mencemari sungai-sungai yang bersumber dari mata air pegunungan tersebut, dan juga akan berdampak pada hilangnya sumber air yang dapat berakibat terjadinya krisis air bersih bagi lebih dari 7.000 jiwa penduduk di 15 desa tersebut.
3.Eksploitasi terhadap kawasan hutan lindung yang menjadi sumber mata air ini juga akan memicu krisis pangan yang berdampak lebih luas bagi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena Sungai Simungun di desa Sopo Komil yang sumber airnya dari mata air pegunungan hutan lindung resister 66 tersebut merupakan sumber air terbesar bagi sungai Simbelin yang merupakan sungai terbesar di kabupaten Dairi yang membentang sepanjang lebih kurang 60 KM melintasi kecamatan Sidikalang, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Silima Pungga-pungga selanjutnya menuju Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jika Sungai Simbelim mengalami penurunan debit air, maka dapat dipastikan masyarakat yang mayoritas sebagai petani padi di 72 desa dengan jumlah penduduk lebih kurang 45.000 jiwa akan kekurangan sumber air untuk lahan pertaniannya yang akibatnya dapat menurunkan produksi hasil pertaniaanya.
4.Sejak PT. DPM mulai melakukan aktivitas eksplorasi pertambangan pada 1998 melalui Kontrak Karya berdasarkan Keppres RI No. 53/Pres/1/1998 tertanggal 17 Februari 1998 dengan lahan seluas 27.420 Ha, berbagai kerusakan alam dan bencana telah terjadi di kawasan eksplorasi hutan lindung register 66 di Batu Ardan Sopo Komil kecamatan Silima Pungga-punga dan sekitarnya. Pengeboran selama lebih dari 10 tahun melakukan eksplorasi penambangan, telah mencemari sumber mata air yang mengakibakan penyakit kulit bagi masyarakat dan terjadinya tanah longsor pada 1998 serta banjir bandang pada 2011.
5.Kerusakan alam telah mencapai titik kritis. Perubahan iklim makin ekstrim dewasa ini. Di seluruh belahan dunia, iklim sudah hampir tidak bisa diramalkan lagi. Bencana alam timbul di mana-mana. Dampak dari perubahan iklim telah mengancam sistem dan sektor penting dengan kelangsungan hidup manusia, termasuk sumber daya air, ketahanan pangan dan kesehatan yang juga berdampak pada kemiskinan. Karena itu, pemberian ijin eksploitasi terhadap hutan lindung register 66 menjadi lahan pertambangan bawah tanah kepada PT. DPM merupakan langkah mundur terhadap semangat mengatasi perubahan iklim dan pelestarian alam.
6.Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK 378/Mehut-II/2012 tertanggal 23 Juli 2012, tentang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk kegiatan penambangan kepada PT. DPM, pada poin ke-limabelas dinyatakan: “Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan jangka waktu 8 (delapan) tahun sesuai dengan studi kelayakan dan berakhir dengan sendirinya apabila tidak diperpanjang. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya keputusan ini tidak ada kegiatan nyata di lapangan, maka keputusan ini batal dengan sendirinya”. Tahun 2015 adalah tahun ketiga dimana PT. DPM belum melakukaan aktivitas produksi penambangan sebagaimana point ke-limabelas dalam SK tersebut, dan karenanya PT. DPM telah melanggar SK tersebut.
Upaya pengaduan ini sudah berlangsung Selama 8 tahun namun belum ada sikap pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan mereka berharap ada langkah tegas dari presiden Jokowi untuk menyelesaikan persoalan ini.
REPORTER : MOKO
EDITOR : SB BUDI W
Posting Komentar