SALAMUDDIN DAENG
Ekonom AEPI JakartaRAPBN 2016 segera akan disahkan dengan mempertahankan berbagai kesalahan fundamental di dalamnya. Target penerimaan yang masih ambisius mengikuti logika APBN 2015 yang seluruh targetnya tidak tercapai dan seluruh asumsinya jauh panggang dari api.
Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 % di tengah pelemahan ekonomi nasional dan perekonomian global. Tidak ada satu faktor pendukung asumsi yang terlalu optimistik tersebut. Melemahnya harga komoditas di pasar global yang menjadi andalan Indonesia, melemahnya kredit yang selama ini menopang konsumsi dan melemhnya konsumsi masyarakat yang selama ini menyumbang 55 % PDB, membuat target pertumbuhan sebesar itu tidak akan terealisasi yang justru akan menciptakan ketidakpercayaan pasar.
Asumsi lainnya yang keliru adalah menyangkut nilai tukar yang dipatok Rp 13.400/ USD, yang sulit tercapai karena tingginya defiist transaksi berjalan, dan cadangan devisa yang telah menipis tersisa 100 miliar USD atau hanya 10% GDP. Rupiah dipredikisi akan berada pada posisi Rp 14.400 sampai 2016 mendatang. Demikian pula asumsi inflasi sebesar 4,7 % tidak rasional terlihat jika melihat inflasi YOY antara 7-9 %. Sebagai pembanding tingkat inflasi Mei 2015 terhadap Mei 2014 (tahun ke tahun) sebesar 7,15 %.
RAPBN 2016 masih menetapkan target penerimaan yang tinggi, di tengah kelesuan ekonomi dan dunia usaha. Target penerimaan pajak dan cukai naik. Padahal target dalam APBNP tahun 2015 tidak tercapai.
Sebagaimana diketahui target APBN 2015 yakni penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.489.255,5 atau meningkat sebesar 29,9 % dari realisasi tahun sebelumnya. Padahal rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada semester I tahun 2015 membuat pemerintah merevisi target penerimaan perpajakan hingga akhir tahun 2015 menjadi sebesar Rp1.366.996,6 miliar atau lebih rendah Rp122.258,8 miliar dari target dalam APBNP tahun 2015. Inipun masih terlalu tinggi dikarenakan tahun 2014 realisasi penerimaan pajak hanya menjadi 6,5 persen.
Demikian pula dengan target pendapatan pajak dalam negeri tahun 2016 adalah sebesar Rp 1.524.012,7 miliar, meningkat sebesar 5,8 % jika dibandingkan dengan targetnya dalam APBNP tahun 2015 atau sebesar 14,8 % jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2015. Padahal pada saat yang sama pemerintah mengobral insentif, segala bentuk kemudahan pajak, hingga tax holiday untuk penanaman modal.
Pemerintah juga masih berambisi mengeruk rakyat dengan menaikan cukai 7 %, di tengah kelesuan industri sebagai dampak melemahnya daya beli masyarakat. Selain memberatkan dunia usaha target ini diyakini tidak tercapai. Dalam perkiraan realisasi tahun 2015, pendapatan cukai ditargetkan mencapai Rp 145.739,9 miliar, lebih tinggi 23,4 % dari realisasinya pada tahun 2014. Sementara realisasi tahun 2015 ini tidak tercapai.
Ambisi pemerintah untuk bagi-bagi mega proyek infrastruktur di antara oligarki dalam pemerintahan telah dijadikan landasan kunci dalam APBN. Ini bukan tuduhan tidak beralasan karena hingga hari ini pemerintah tetap keukeuh dengan mega proyek listrik, tol, kereta cepat dan lain sebagainya.
Lebih parah lagi APBN dijadikan bancakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN senilai Rp. 48.2 triliun lebih. Padahal PMN dalam 2015 senilai 70 triliun rupiah telah memicu kontroversi karena mencederai keadilan, tidak akuntabel dan tidak transparan.
Sisi lain, BUMN terus dikerahkan untuk memburu utang luar negeri, menjual sebagian besar saham publik BUMN ke pihak asing. Semestinya hanya BUMN yang 100 % sahamnya milik negara yang berhak mendapatkan PMN. Besar kemungkinan PMN ini akan menjadi strategi membentuk kembali share pemerintah di BUMN agar laku jual ke pasar keuangan internasional.
Pemerintah terus memangkas subsidi untuk rakyat, baik subsidi BBM, listrik, dan subsidi pertanian. Menghadapi liberalisasi ASEAN 2016, postur RAPBN ini akan sangat kontraproduktif dalam memperkuat daya saing nasional dan kemampuan kapasitas rakyat yang tengah terpuruk secara ekonomi.
Blunder lainnya dalam RAPBN 2016 adalah target Penerbitan SBN Netto dalam RAPBN tahun 2016 yang direncanakan sebesar Rp 326.271,2 miliar atau naik 9,6 % dibandingkan APBNP tahun 2015 sebesar Rp 297.698,4 miliar. Upaya pemenuhan target pembiayaan utang melalui penerbitan SBN (Netto) tahun 2016 akan dilakukan pemerintah dengan menerbitkan instrumen SBN domestik dan valas. Target ini selain tidak masuk akal di tengah pelemahan ekonomi global, juga akan semakin membebani utang pemerintah yang sudah lebih dari 3.000 triliun rupiah yang bersumber dari luar negeri dan SBN.
Secara keseluruhan, Postur RAPBN 2016 terlihat hanya untuk melegitimasi sikap ambisius liar Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk bagi-bagi proyek infrastruktur yang dijamin APBN, yang jelas akan memberatkan dunia usaha dalam negeri dan akan semakin membebani rakyat.
RAPBN ini akan semakin menjauhkan Pemerintahan Jokowi-JK dari cita cita Trisakti dan Nawacita. Pemerintah sama sekali tidak mau belajar. Pengalaman satu tahun yang berantakan mestinya menjadi alat evaluasi kritis. Pemerintah juga tidak mau jujur membuka data. DPR harus menunda pengesahan RAPBN dan mengkaji ulang seluruh strategi yang dibangun di dalam RAPBN 2016.
Posting Komentar