RICKY TAMBA
DALAM beberapa bulan terakhir, negara seperti kehilangan kedigdayaan dalam menghadapi gempuran neokolonialisme neoliberalisme, yakni menghadang berbagai serangan yang bertujuan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan meluluhlantakkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.
Bagaimana tidak? Negara (baca: aparatur negara dan berbagai peraturan perundangannya) seakan mengamini berbagai penyimpangan yang terjadi di atas bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebut saja tak mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, takluk atas negosiasi busuk tambang asing serta yang terkini kembali mempertontonkan kekerasan yang selayaknya tidak lagi menjadi metode penyelesaian sengketa dengan rakyatnya di era modern demokratis.
Dimulai dari berbagai pernyataan yang menyejukkan dari Presiden Joko Widodo, para menteri dan pejabat lainnya, bahwa stok sembako dan harga aman terkendali. Faktanya harga-harga terus melambung tinggi tergantung kepada mekanisme pasar yang secara otomatis menyerahkannya kepada 'invisible hands' tengkulak, spekulan dan para investor mafia untuk bermain mencari untung sesukanya.
Padahal pernyataan presiden akan pengendalian stok dan harga telah diwujudkan dalam semacam Instruksi Presiden yang seharusnya 'diamankan' sungguh-sungguh oleh para jajarannya. Ketika rakyat mengeluhkan harga daging sapi dan ayam, dengan entengnya para pejabat melempar batu sembunyi tangan dengan menyalahkan seakan-akan ada mafia yang bermain dan berlangsung penimbunan daging oleh para spekulan. Yang ironis, setelah rakyat menjerit akan daging yang semakin mahal tak terbeli, kembali para pejabat Kabinet Kerja melontarkan janji manis bahwa dalam waktu dekat harga akan kembali normal dan terkendali dengan patokan harga yang diterapkan pemerintah.
Berikutnya dalam hal tambang asing, negara sepertinya menuruti bujuk rayu negosiasi busuk bahwa bagi hasil keuntungan untuk negara akan ditingkatkan, bahan mentah akan diolah di smelter yang akan dibangun guna meningkatkan nilai jual yang secara otomatis akan memberikan tambahan insentif pajak buat negara. Padahal, secara logika akal sehat yang paling sederhana, hal tersebut terjadi demi keberlangsungan akumulasi modal asing yang telah menghisap sangat banyak keuntungan dari bumi pertiwi selama beberapa dekade, sedikit sekali dampak yang berhasil dirasakan masyarakat setempat.
Bisa saja sebenarnya negara memaksakan audit terhadap berbagai tambang asing yang telah beroperasi lama, guna meminta transparansi bagi hasil yang semestinya. Bahkan, negara bisa saja mengambil alih dan menasionalisasi guna dikelola sendiri untuk diberdayakan menghasilkan sebesar-besarnya menghidupi hajat rakyat banyak.
Yang terkini, negara kembali mempertontonkan sebuah tayangan kekerasan berupa penggusuran sebuah wilayah di Jakarta Timur yang disebut dengan Kampung Pulo.
Dengan pongahnya, negara yang dipresentasikan Gubernur DKI Jakarta mengerahkan ribuan aparatur Satuan Polisi Pamong Praja serta kesatuan lainnya guna melaksanakan program indah yang dinamakan penataan Ciliwung guna mengatasi banjir.
Bahwa niat yang benar seharusnya kita semua dukung, asal dilakukan dengan demokratis dan transparan.
Bagaimana bisa dikatakan demokratis, bila penataan tersebut dengan mengerahkan ribuan personil keamanan yang dengan sengaja dibenturkan dengan rakyat yang hendak mempertahankan haknya, terlepas memiliki legalitas atau tidak dalam kacamata negara.
Padahal, pemakaian pajak untuk menggaji mereka ditujukan untuk memberikan rasa aman dan melindungi mereka dari rasa takut yang dilakukan oleh para musuh negara yang hendak membuat onar.
Kemudian, langkah tersebut terkesan tidak transparan, dipaksakan ke depan sorotan publik melalui berbagai propaganda media mainstream bahwa langkah ini tepat guna mengatasi banjir di Jakarta, tanpa pernah mengemukakan secara komprehensif sebenarnya daerah mana saja yang menjadi bagian dari problem tersebut. Dalam bahasa kini disebut tebang pilih, mana yang menguntungkan itulah yang dikerjakan.
Mudah-mudahan saja berbagai isu miring yang menyertai 'penertiban' Kampung Pulo tak terbukti, karena bila tidak akan menjadi pemicu bagi akumulasi kemarahan rakyat yang semakin besar.
Negara semestinya dapat lebih bijak dalam berencana dan bertindak mewujudkan pembangunan, yang pada akhirnya bertujuan pada kemakmuran rakyat. Walau dalam beberapa bulan ini, sepertinya negara takluk atas tuntutan neokolonialisme neoliberalisme yang menginginkan negara menjadi perpanjangan tangan tertib hukum dan pemberi ilusi ke rakyat demi kenyamanan dan kondusifitas akumulasi modalnya, baik yang terbuka atau melalui berbagai desain rahasianya.
Semoga saja, berbagai pertunjukan tak elok tersebut segera berakhir, dan episode negara yang tertib Pancasila serta berpihak kepada rakyatnya segera berlangsung. Agar mayoritas rakyat Indonesia percaya bahwa negara masih ada!
Posting Komentar