JAKARTA, TEGARNEWS.com - Redaksi Tegar News mendapatkan kehormatan berhasil mewawancarai salah seorang tokoh nasional yang juga aktivis mahasiswa era 1980 an, yakni Mohammad Jumhur Hidayat.
Di tengah berbagai kesibukan, mantan Kepala BNP2TKI yang pernah dipenjarakan oleh rezim Orde Baru tersebut berkenan menerima wawancara khusus terkait pandangan dan visi atas situasi ekonomi-politik Indonesia saat ini.
Berikut wawancara khusus dengan Tegar News, Rabu (2/9/2015).
Tegar News (TN): Selamat siang Bang, terima kasih atas kesediaan waktu yang diberikan kepada Tegar News untuk wawancara khusus. Boleh tahu kesibukan Abang sekarang?
Mohammad Jumhur Hidayat (MJH): Yang pasti tetap berjuang. Di mana pun kita berada, perspektifnya adalah perjuangan. Kalau suatu hari anda jadi presiden pun, anda harus menganggap kepresidenan itu adalah alat perjuangan.
Kalau anda di luar pemerintahan dan terus berbuat untuk kepentingan rakyat banyak, maka itu juga perjuangan. Nah, sekarang saya berjuang melalui beberapa lembaga non pemerintah yang selama ini saya bersama mereka, seperti gerakan buruh, pedagang kaki lima, pemberdayaan masyarakat desa dan sebagainya
Kalau anda di luar pemerintahan dan terus berbuat untuk kepentingan rakyat banyak, maka itu juga perjuangan. Nah, sekarang saya berjuang melalui beberapa lembaga non pemerintah yang selama ini saya bersama mereka, seperti gerakan buruh, pedagang kaki lima, pemberdayaan masyarakat desa dan sebagainya
TN: Bagaimana analisa Abang tentang situasi ekonomi-politik kontemporer Indonesia?
MJH: Saya rasa bangsa ini memerlukan koreksi total agar demokrasi politik tidak menjadi alat untuk menguasai aset-aset produktif bangsa yang terbatas ini, yaitu aset sumber daya alam serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini jelas telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
TN: Abang dikenal sebagai tokoh yang pada saat menjadi birokrat berani mengambil sikap mendukung Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014 yang lalu, hingga Abang dicopot oleh Presiden saat itu yakni SBY. Apa dasar pemikiran Abang hingga mengambil posisi demikian?
MJH: Saya terpesona dengan keinginan PDIP dan Jokowi untuk melaksanakan dengan sepenuh hati ajaran Trisakti Bung Karno, karena itu dalam Pileg 2014, saya mendukung --- bukan masuk --- PDIP dan tentunya mendukung Jokowi.
Namun sayang hingga saat ini saya masih belum melihat kesungguhan ingin melaksanakan ajaran Trisakti Bung Karno itu.
Contoh paling gampang saja, murah dan tanpa resiko dalam pelaksanaan Trisakti ini adalah jangan perpanjang kontrak JICT Pelabuhan Tanjung Priok dengan Hongkong dan jangan juga diberikan saham 30% ke perusahaan Perancis TOTAL dalam pengelolaan Blok Mahakam sehabis kontrak dengannya.
Biarlah Pelindo II dan Pertamina mengerjakan masing-masing kegiatan itu karena mereka sudah sangat mampu. Faktanya, kedua hal itu pun belum diputuskan hingga sekarang.
Namun sayang hingga saat ini saya masih belum melihat kesungguhan ingin melaksanakan ajaran Trisakti Bung Karno itu.
Contoh paling gampang saja, murah dan tanpa resiko dalam pelaksanaan Trisakti ini adalah jangan perpanjang kontrak JICT Pelabuhan Tanjung Priok dengan Hongkong dan jangan juga diberikan saham 30% ke perusahaan Perancis TOTAL dalam pengelolaan Blok Mahakam sehabis kontrak dengannya.
Biarlah Pelindo II dan Pertamina mengerjakan masing-masing kegiatan itu karena mereka sudah sangat mampu. Faktanya, kedua hal itu pun belum diputuskan hingga sekarang.
TN: Saat ini, sebagian rakyat gelisah dan mulai melakukan berbagai perlawanan sporadik atas berbagai kebijakan ekonomi-politik mulai di pusat hingga pelosok daerah. Bagaimana komentar Abang?
MJH: Iya, keinginan rakyat memang sederhana saja yaitu meningkat daya belinya, bisa memenuhi kebutuhan pokok dengan mudah serta pelayanan sosial lain seperti kesehatan dan pendidikan yang terjangkau.
Faktanya, hal yang paling diharapkan daya beli meningkat malah justru sebaliknya, mendadak turun karena utamanya dipicu kenaikan BBM di saat harga BBM dunia sedang turun. Nah, dengan daya beli yang menurun ini, maka semua sektor produktif yang menghasilkan produk-produk massal, langsung terpukul karena barangnya tidak terbeli. Ujung-ujungnya ya PHK dan penutupan perusahaan.
Maka justru aneh kalau tidak ada perlawanan terhadap keadaan ini.
Faktanya, hal yang paling diharapkan daya beli meningkat malah justru sebaliknya, mendadak turun karena utamanya dipicu kenaikan BBM di saat harga BBM dunia sedang turun. Nah, dengan daya beli yang menurun ini, maka semua sektor produktif yang menghasilkan produk-produk massal, langsung terpukul karena barangnya tidak terbeli. Ujung-ujungnya ya PHK dan penutupan perusahaan.
Maka justru aneh kalau tidak ada perlawanan terhadap keadaan ini.
TN: Ada saran untuk gerakan mahasiswa yang seakan sepertinya melempem tertidur lelap? Bagaimana Abang membandingkannya dengan saat menjadi aktivis mahasiswa era 1980 an?
MJH: Saya masih beranggapan bahwa mahasiswa adalah bagian dari kelas menengah di republik ini, sehingga yang utama diperlukan mereka adalah demokrasi politik.
Sehingga ketika mereka sudah bisa bicara lantang, apalagi sekarang sudah ada media sosial seperti twitter dan facebook dan lain-lain, maka mereka menganggap berlantang-lantang di media tersebut sudah bagian dari perjuangan dan itu sudah memuaskan batin mereka.
Sedangkan dulu ketika era 80-an, bersuara lantang, berorganisasi dan sebagainya itu dilarang sehingga mahasiswa berontak karena kepentingannya terganggu.
Nah, kalau sekarang kelompok yang merasakan langsung dari kebijakan yang salah dari negara itu adalah kelompok sektoral ekonomi seperti buruh, tani, pedagang kaki lima, nelayan dan sebagainya. Makanya ketika kepentingan sektoral mereka terganggu, gerakan massa hingga puluhan ribu sering terjadi.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa sekarang yang ingin menggerakkan massa turun ke jalan dalam jumlah ratusan orang saja susahnya minta ampun. Silahkan saja anda tanyakan pada ketua-ketua atau pengurus BEM.
Sehingga ketika mereka sudah bisa bicara lantang, apalagi sekarang sudah ada media sosial seperti twitter dan facebook dan lain-lain, maka mereka menganggap berlantang-lantang di media tersebut sudah bagian dari perjuangan dan itu sudah memuaskan batin mereka.
Sedangkan dulu ketika era 80-an, bersuara lantang, berorganisasi dan sebagainya itu dilarang sehingga mahasiswa berontak karena kepentingannya terganggu.
Nah, kalau sekarang kelompok yang merasakan langsung dari kebijakan yang salah dari negara itu adalah kelompok sektoral ekonomi seperti buruh, tani, pedagang kaki lima, nelayan dan sebagainya. Makanya ketika kepentingan sektoral mereka terganggu, gerakan massa hingga puluhan ribu sering terjadi.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa sekarang yang ingin menggerakkan massa turun ke jalan dalam jumlah ratusan orang saja susahnya minta ampun. Silahkan saja anda tanyakan pada ketua-ketua atau pengurus BEM.
TN: Kalau suatu saat situasi dan kondisi meminta Abang untuk muncul menjadi pemimpin barisan oposisi, apakah Abang siap? Apa tawaran program perjuangan dan strategi taktik ke depan dari Abang?
MJH: Pemimpin itu bukan dibuat tapi dilahirkan oleh zaman melalui ujian-ujian yang dilewatinya.
Terkait dengan pemimpin barisan oposisi, maka itu bukan soal siap atau tidak siap, tapi apakah memang momentumnya akan mengarah ke orang itu atau tidak. Siapapun saya yakin akan siap mengambil amanah itu bila memang momentumnya ke arah orang itu.
Terkait dengan pemimpin barisan oposisi, maka itu bukan soal siap atau tidak siap, tapi apakah memang momentumnya akan mengarah ke orang itu atau tidak. Siapapun saya yakin akan siap mengambil amanah itu bila memang momentumnya ke arah orang itu.
TN: Bagaimana Abang memandang peranan pers dan media sosial dalam dinamika politik ke depan?
MJH: Pers dan media sosial pasti penting dong. Mereka alat berkomunikasi dengan cepat dan bisa jamak hingga jutaan orang dalam sekian detik atau menit atau hari.
Namun, kecuali media sosial, kita juga harus waspada dengan pers konvensional cetak dan elektronik, karena sesungguhnya freedom of press is the freedom of the press owner!
Karena itu, bila si pemilik sudah melakukan deal-dealan dengan kekuasaan, maka jangan harap pers bisa menyuarakan dengan seutuhnya perjuangan kaum tertindas.
Namun, kecuali media sosial, kita juga harus waspada dengan pers konvensional cetak dan elektronik, karena sesungguhnya freedom of press is the freedom of the press owner!
Karena itu, bila si pemilik sudah melakukan deal-dealan dengan kekuasaan, maka jangan harap pers bisa menyuarakan dengan seutuhnya perjuangan kaum tertindas.
TN: Terakhir, apa harapan, saran dan kritik Abang untuk Tegar News?
MJH: Mudah-mudahan pemilik Tegar News tidak mudah melakukan deal-dealan dengan kekuasaan sehingga beritanya tidak obyektif.
Dari sisi substansi dan teknik penulisan berita, saya rasa sudah bagus dan seiring dengan berjalannya waktu, pastinya akan terus berbenah diri sehingga akan lebih bagus lagi.
Selamat ya, atas pendirian Tegar News ini. Mudah-mudahan bisa menjadi media alternatif terpenting di Republik Indonesia.
Dari sisi substansi dan teknik penulisan berita, saya rasa sudah bagus dan seiring dengan berjalannya waktu, pastinya akan terus berbenah diri sehingga akan lebih bagus lagi.
Selamat ya, atas pendirian Tegar News ini. Mudah-mudahan bisa menjadi media alternatif terpenting di Republik Indonesia.
TN: Terimakasih, Bang. Selamat siang.
PENULIS: RICKY TAMBA
Posting Komentar